Ijazah Sarjana nya kemana, Kok Jadi IRT ????

Yak. Ntap.
 
Apakah ukhti ukhti sekalian familiar dengan pertanyaan khalayak ramai seperti di atas? Yha, pertanyaan nya memang pengen buat kita nampol mulut yang ngomong kaya gitu.
Jadi gini, mon maap sebelumnya kenapa aku malah bahas ini bukannya soal asi or baby blues hahaha karena lagi dapet inspirasi (gayeeeeeeeeeeee) nulis soal yang ini. (alasan nya receh, wa tau, wa minta maap gaes, next time ya hahaha)
 
Jadi gini, what's inside my mind is.......EMANG KENAPA SIH KALO ABIS KULIAH JADI IRT??? Situ terganggu? Situ ikut bayarin uang listrik? Kan engga yah? Terus masalah nya apa? Kenapa harus nyinyir? The reason why I wrote this adalah karena opini ngana, terjadilah perbandingan plus minus antara IRT dan ibu bekerja dari yang tadinya adem ayem seiring sejalan menjadi penuh persaingan layaknya akan terjadi perang di negara api lagi (ga gitu qis, ga gitu).

Beberapa waktu ke belakang, teman teman suka share 'kelebihan' status sebagai IRT yang menjadi senjata mereka, which truthfully broke my heart a little as a working mom who can't be on their feet.

Dari sisi seorang ibu yang bekerja, waktu adalah hal yang benar benar hal berharga yang harus dimaksimalkan. Menjadi ibu bekerja berarti harus rela waktu 24 jam nya di bagi secara merata antara pekerjaan sebagai pekerja, sebagai istri, dan sebagai ibu. Melelahkan? Pastinya. Apa lantas ibu rumah tangga tidak merasa capek? Menjaga satu anak (kalau masih punya 1), kemudian harus membersihkan rumah, do the laundry, bahkan memasak, menyiapkan kebutuhan seisi rumah pun bukan hal yang gampang dikerjakan.

Keduanya adalah profesi, yang tiap individu pun belum tentu bisa melakukan hal yang berbalik dengan apa yang biasa mereka lakukan. Coba tanya ibu pekerja, apakah mereka bakal betah di rumah 24 jam dalam kondisi berantakan? Belum tentu, bisa jadi di kantor mereka menemukan ketenangan, kedamaian yang membuat mereka 'tetap waras' ketika sampai di rumah dan menghadapi ketantruman anak. Jika dibalik keadaan nya, apakah ibu  rumah tangga yang sudah begitu sabar menghadapi carut marut kehectican yang terjadi, ketika dipaksa berada di balik layar komputer, duduk tenang sambil baca baca email or else, apa bisa kerasan? Mungkin dia akan segera merindukan ruang keluarga nya yang berhiaskan mainan anak-anak.

Wait, ini tulisan nya kenapa jadi serius gini????????????????????? maap gaes maap, agak mellow waktu nulis topik ini hahaha

Back again (njiiiiiiiiiir, lau kira siaran radio)............. Ijazah adalah selembar kertas yang menyatakan kelulusan seseorang dari sebuah institusi. Adalah hak setiap orang, memilih menggunakan nya atau tidak. Mengenai ijazah ini, ada 1 stigma yang sebenernya aku ga gitu paham (okay, mungkin maksud nya ga gitu setuju) adalah, ibu rumah tangga yang merupakan seorang sarjana adalah jendela dalam membesarkan anak yang cerdas and bla bla bla. Nganu, lu besarin anak pake rumus algoritma, mon maap? Ganti popok anak pake penerapan hukum newton? Sorry to say, kecerdasan bukan di ukur dari kertas kelulusan. I told this because I witnessed some who sent their child to course dengan alesan, WAH PELAJARAN ANAK JAMAN NOW SUSAH YA, GA BISA NGAJARIN NIH jadi di les-in aja. See? There.

Membesarkan anak, mendidik anak bukan melulu melalui kecerdasan otak. Bagaimana kita bisa menjelaskan, seorang ibu yang tidak lulus sekolah seperti nenek saya, bisa membesarkan 3 anak sampai saat ini dengan tidak pernah melupakan tutur, adat istiadat dan norma? Atau, bagaimana dengan seorang ibu yang mungkin dia lulusan S sekian dari universitas ternama yang bahkan tidak bisa mengkontrol emosi sehingga bisa meninggalkan or even worst, menghabisi nyawa anak nya?

What I am trying to say is, bukan ijazah yang menentukan kita menjadi ibu or istri yang baik atau bukan. Bukan masalah apapun keputusan kita apakah untuk 'menjual' ijazah dan menjadi ibu pekerja atau dengan lapang dada memutuskan 'membiarkan' nya tergeletak dalam lemari. Raised your child with the purest love and value you can give. Rawat suami, rumah dan keluarga sebaik mungkin despite apapun latar belakang pendidikan mu. Tidak perlu merasa bersalah, merasa minder bahwa akhirnya hanya menjadi ibu rumah tangga karena tidak ada hal yang sia sia di dunia ini.

Jangan terpancing untuk ikut berkoar karena merasa terintimidasi. Pada akhirnya, keberhasilan mengantar anak sampai pada pintu kesuksesan akan menjadi saksi bahwa lembaran ijazah yang kamu simpan rapi di lemari bukan lah pengorbanan yang tidak ada hasil. Yang dibutuhkan adalah kesabaran, keikhlasan, kejelian, dan usaha untuk menjadi orang tua yang menjadi panutan anak kita kelak. Oh iya, juga sedikit piknik yang tentunya, disponsori para suami. Cheers to you, mothers, and soon to be mothers!


Salam hangat terdahsyat,


Ibu nya Yasmine, yang tiap pagi drama ga dikasi pergi kerja sama anak nya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Virgo ???

Resume!!!!!!